KoyoNgeneRasane

Koyo Ngene Rasane - Rasane Koyo Ngene - Ngene Rasane Koyo

Sunday, April 29, 2007

CARI KELUARGA YANG HILANG

Om Dodok ku, pulanglah…


Rekan rekan yang terhormat, ini adalah sebuah puncak kegundah gulanaan saya selama ini. Berawal dari pertemuan saya dengan seseorang di Blitar yang mengisahkan akan kepergian orang tuanya (ibundanya) untuk merantau mengadu nasib ke Malaysia. Ternyata kepergian seorang Ibu untuk bekerja di Malysia itu, adalah sebuah putusnya komunikasi yang terjadi sejak tahun 1997an hingga kini. Karena adanya kesamaan kisah itulah, maka, saya coba tuangkan dalam coretan ini. Sebuah harapan kepulangan seorang paman, yang telah lama hilang…



Ini adalah beberapa foto dari Suyadi Sarie Widodo (SSW), adik kandung Ayahku Kakiyat Sari Rahardjo. SSW, adalah anak ke 7 dari 8 bersaudara, dari pasangan Sariredjo dan Ngatirah. Seluruh anak Mbah Sari (kakekku) adalah sebagai berikut : anak ke-1 Suprihatin, ke-2 Suprimpen, ke-3 Lupiani, ke-4 Lupingah, ke-5 Sudjono, ke-6 Kakiyat, ke-7 Suyadi, ke-8 Kumiadji.

Bagi keluarga kami di Djengkol Plosokidul, Plosoklaten-Kediri Jawa Timur, SSW biasa dipanggil dengan Yadi, Dodo(k). Saya sendiri lebih senang memanggilnya dengan Om Dodok.

Bagi saya Om Dodok adalah sosok pekerja keras dan begitu memperhatikan keluarga besarnya di Kediri (kakak, adik dan ponakannya). Setahu saya, hingga terakhir ketemu pada tahun 90an lalu, Om Dodok belum menikah. Entah apa masalahnya.

Seperti yang dituturkan Bapakku, SSW atau Om Dodok, pergi merantau ke Jakarta sejak tahun 1972, setamat dari SMEA Negeri Kediri. Dan beberapa tahun berikutnya, Om ku setidaknya setiap tahunnya selalu pulang mudik saat lebaran. Yang saya tahu, kala itu tahun 80an, beberapa kali pulang ke Kediri senantiasa ditemani oleh kawan – kawannya, rekan sekerjanya di Jakarta.

Om Dodok, terakhir saya sempat menemuinya di Jakarta tahun 1990an. Kala itu saya tidak begitu tahu banyak mengenai apa pekerjaan dan bidang usaha yang dijalankan Om Dodok. Terakhir, sempat berkirim surat kepada orang tuaku pada tahun 90an, kala itu saya sudah bekerja di Bandung. Dalam surat terakhirnya itu, disebutkan bahwa Om ku menyoba peruntungan dengan bekerja bersama kawan – kawannya ke Singapura dan Malaysia. Surat terakhir itu kini masih disimpan dengan baik oleh Bapakku.

Jika akhirnya kini saya beranikan diri untuk menuliskan ini semua, karena rasanya sudah waktunya untuk memang di ketahui oleh umum, setidaknya rekan rekan yang membaca coretan ini.

Hingga kini, kami seluruh keluarga di Kediri menanti kepulangan Om Dodok. Sejak tahun 90an itulah, kami tidak mengetahui keberadaanya. Berkali kali saya datangi tempat tinggalnya dulu, ternyata sudah tidak diketahui adanya. Saya juga mencoba untuk mendatangi beberapa tempat biasa berkumpul dengan kawan-kawannya di Jakarta, juga tidak saya tahu rimbanya.

Bagai ditelan Bumi, itu kesimpulan saya. Kami sangat kehilangan akan anggota keluarga ini. Jika dihitung, kepergian Om Dodok sudah hampir sekitar 10 tahun lebih, tanpa khabar berita.

“Om Dodok ku, pulanglah. Keluarga di Kediri menunggumu Om. Bagaimanapun kondisimu, apapun adanya dirimu, pulanglah Om. Kami sangat menyayangimu. Jika memang ada kesalahan keluarga di Kediri tolong dimaafkan. Mungkin kala itu sebuah kesalahan membuatmu sakit hati”.

“Om Dodok ku, ketahuilah, saya dan keponakan yang lain sudah besar besar dan dewasa. Bahkan sudah banyak yang berumah tangga. Om Dodok ku, kala kami semua dulu masih kanak- kanak, betapa sosokmu begitu sempurna sebagai seorang paman. Tiap pulang kampung, tidak lupa selalu membawakan kami semua baju baru, berbagai oleh-oleh yang sangat kami dambakan kala itu”.

“Om Dodok ku, Ganang ingat akan nasehatmu kala itu. Jadilah pribadi yang dinamis. Jadilah orang yang senantiasa piawai berkomunikasi dengan berbagai kalangan, agar gampang menapaki kariermu”.

“Om Dodok ku, ketahuilah, setiap lebaran datang. Setiap terdengar gema takbir saat Idul Fitri, banyak yang menangisi ketidak hadiranmu ditengah keluarga besar di Kediri. Bapak senantiasa menangis jika ingat Om Dodok, apalagi kala jelang Hari Suci itu”.

“Om Dodok ku, dalam hati dan jiwa kami selama ini, masih senantiasa ada spirit mu, masih senantiasa ada jasa baikmu selama ini. Om, jika engkau telah meninggal dunia, dimana pusaramu. Jika engkau masih hidup, dimana engkau berada kini”.

“Om Dodok ku, tak henti hentinya, saya mencarimu. Tak henti hentinya aku pertanyakan nasibmu kepada Tuhan.Om Dodok ku, setiap saat senantiasa aku berdoa kepada Allah SWT, agar engkau senantiasa diberikan anugerah keselamatan dan kesejahteraan”.

“Ya, Allah. Cobaan ini kapan akan berakhir. Kami kelurga Sariredjo, senantiasa menanti kedatangan orang yang sangat kami cintai ini. Amien…”.


Jawa Timur, akhir April 2007
ganang@journalist.com

gm_populer@yahoo.com 08882080516 - 081321265516

Catatan :
Mohon bantuannya, kepada seluruh rekan rekan, jika mengetahui keberadaan paman saya tersebut dapat mengubungi saya. Terimakasih atas segala bantuannya.


Ciri Ciri :
Tinggi sekitar 170 cm, usia skitar 50 tahunan, kulit sawo matang, hidung mancung, rambut ikal (keriting), terakhir tinggal (tahun90an) di Pondok Indah - Jakarta Selatan.














Saturday, December 23, 2006

Benarkah Nama Julukan lebih mengakrabkan perkawanan?

Benarkah Nama Julukan lebih mengakrabkan perkawanan?

Pernahkah anda tidak marah ketika misalnya nama anda Widodo, tetapi kawan-kawan akrab anda memanggil anda dengan Gendon? Atau misalnya kita sedang kumpul dengan kawan kawan kita, dan kita tahu persis nama-nama mereka, tetapi ada orang yang memanggil kawan kita tadi tidak menggunakan nama yang bersangkutan, tetapi kawan kita tadi langsung meresponnya. Misal kawan kita namanya Eko, dipanggil orang lain dengan menyebut Kowol, dan dia langsung menjawab atau bereaksi tanda kenal? Itu pula yang sejak kecil hingga kini saya dapati, dimanapun, kapanpun dan entah, mungkin sampai akhir hayat nanti.

Saat saya sekolah di SD, kawan kawan saya memanggil saya dengan NANG NOLIT, nama asli saya Ganang. Mungkin ini didasari oleh adanya lagu mainan/ lokal kala itu saat kecil yang seperti ini: " Nang Nolit Jenang Abang Keno di Dulit"...tapi saya menerimanya meski terkadang jengkel juga dijuluki demikian. Saya pun memberlakukan panggilan julukan kepada kawan kawan saya. Achmad Aris Tontowi, Aris Fatoni, Dwi Maryanto, Suwito, Hartono,Yulianto,Yuni,adalah sebagian nama kawan akrab saya ketika itu.

Achmad Arie Tontowi, diantara perkawanan saya dipanggilnya dengan Beton Ireng. Jelas ini merujuk pada : Beton (bhs jawa artinya : biji nangka) dari Tontowi-nya dan Ireng (bhs Jawa artinya Hitam). Memang demikian adanya, kawan saya Tontowi ini diantara perkawanan saya dia berkulit hitam...Haha,entahlah khabar terakhir Tontowi tinggal di Lampung, sebagai Dosen di sebuah Perguruan Tinggi,dan hampir 15 tahun saya tidak jumpa dengannya.

Aris Fatoni, dipanggilnya Manolet. Entah ini rujukannya dari mana, yang jelas kala itu Aris type anak yang nylolet (bhs Jawa : menggemaskan, terkadang menjengkelkan). Terakhir saya jumpa dengannya setahun yang lalu, masih tinggal satu kecamatan dengan orang tua saya. Manolet membuka usaha bengkel sepeda motor, dan hebatnya label bengkelnya adalah : MMC, Manolet Motor Racing. Edan tenan....

Dwi Maryanto, perawakannya kecil, pendek, dan kalem. seingats aya, dia dijuluki Bathok (bhs Jawa artinya : Tempurung Kelapa). Terkadang panjangnya Sluku-Sluku Bathok.

Suwito, kawan saya ini kala itu termasuk yang berbadan tegak, dan besar. Wito dijulukinya Cenil. Cenil adalah sejenis jajan pasar, terbuat dari tepung kanji, diwarnai merah,putih dan ditaburi parutan kelapa, dikucuri juruh/ gula kelapa cair yang dimasak. Kenyataannya memang ini agak nyambung, Ibunya Wito, memang dagang Cenil...haha..

Hartono, tinggi, langsing, cenderung kemayu. Kini membuka usaha salon dan potong rambut. entah dia sudah married belum? Terakhir saya jumpa dengannya tiga tahun lalu di salonnya, dan saya sempat potong rambut gratis, setelah hampir 12 tahun tidak ketemu. Hartono, saya dan kawan kawan dulu memanggilnya Penceng (bhs Jawa artinya : tidak lurus) atau tidak simetris. Ini mungkin merujuk kepada bentuk kepala Hartono yang memang tidak simetris..alias Penceng...

Yulianto, perawakannya kecil, tinggi, ketawanya lebar. Dipanggilnya nDotho...aneh bin ajaib. Saya tiak mengerti darimana rujkukannya. Hanya memang menurut saya dan kawan-kawan cocoknya memang nDotho.

Yuni, saya lupa nama panjangnya. Hanya kala itu dipanggilnya Limbhok. Mungkin karena dia gemuk seperti tokoh wayang sederajat dengan Semar, yaitu Limbhok....

Dipercaya atau tidak, pada kenyataanya setiap orang pasti akan memiliki kenangan akan hal hal demikian. terkadang geli, jengkel, tapi jadi ingat masa lalu. Bagi saya julukan itu jadi berubah ketika SMP/ SMA. Jelas nama saya Ganang, nama julukan saya KOBONG (bhs Jawa artinya : Terbakar). Faktanya memang saya pernah terbakar bagian muka saat itu.

Ada juga tren lain kala itu. Di SMA saya juga sering dijuluki YAT. Kependekan nama Kakiyat, nama ayah saya. Sayapun juga memakai nama orang tuanya, untuk memanggil nama kawan-kawan saya. Ada Akrom untuk Faisol, ada Sih untuk Indra, ada Katimun untuk Indra Wibowo, yang lainnya sudah lupa.

Kinipun demikian, saat di Bandung ini saya dapat julukan lainnya. Diantaranya Cuk &Si Jawa. Nah, kali ini, beberapa kawan dekat, senior sekaligus kawan seprofesi akan saya coba kuliti satu persatu.

<< Sonjaya Akbar namanya. Julukannya Broer. Pria asal Palimanan Cirebon ini sudah lebih dari 20 tahun bekerja di duni Radio Siaran. Melanglang buana ke berbagai radio. Kini Siaran di B RADIO 95.6 FM Bandung. Mungkin, karena hobinya nyanyi lagu Broery Marantika, maka dijuluki Broer.

Witarsa Wattarman >>

Witarsa Wattarman. Dipanggilnya Muit. Perawakannya tingi, langsing, kuning, aslinya dari Cilegon. Selain aktif menjadi broadcaster juga jadi dosen di sebuah PTS di Bandung. Julukannya Muit. Saking dekatnya, saya menganggapnya kakak. Dua kali Mas Muit berkunjung ke Singapura, terakhir saat mengunjungi Pameran Broadcast.

Erwienn Permadhie. Saya menjulukinya Londo Godhong. Memang, pada diri Kang Erwienn mengalir darah Belanda dari alm.ibundanya. Tetapi kawan kawan, memanggilnya dengan Bubhut.Dari mana ya rujukannya...

Vidya Imbar. Dipanggilnya NgeDhop. Ini julukan yang di berikan oleh Sonjaya Akbar. Kini aktif mengajar di Sebuah SMK di Sukabumi, tentu jurusan Broadcast. Dengar-dengar menjadi GM sebuah Radio di sana. Kecil, langsing, dan pakar IT.

Benny Warsita. Saya biasa menjulukinya dengan mBlung...? Ganteng, tinggi, pokoknya keren orangnya. Cuman, agak temprament sedang ke tinggi sedikit.

Bagimanapun, panggilan julukan rasanya lebih mengakrabkan perkawanan.Benarkah? Yang jelas bagi saya demikian adanya. Bagimana dengan perkawanan anda?....